Minggu, 13 Januari 2013

CERPEN

Kata Emak

  (Melan Kusumandari)

“terima kasih, untuk kasih sayang yang tak pernah usai..tulus cintamu takkan mampu, untuk terbalaskan..”
Ya, itulah sebait lagu yang ku dendangkan di tengah lalu lalang kendaraan orang-orang berduit. Iya, orang berduit gimana gak berduit coba kalau untuk sehari-harinya saja mereka memakai empat roda sekaligus dalam perjalanan. Bukan hanya itu saja kursi nan empuk selalu mereka duduki dalam perjalanan lalu lalangnya.
Terik mentari yang mulai membakar kulitku seakan tak dirasakan mereka yang di dalamnya terdapat pendingin ruangan,ya orang menyebutnya sih AC.
Musisi jalanan eh pengamen mungkin lebih tepat untuk menggambarkan keadaanku saat ini. Bukanlah sebuah pilihan ataupun impian untuk menjalani semua ini. Tapi keadaanlah yang membuatku tidak menolak akan hal ini.

Emakku bekerja sebagai pengumpul sampah yang beterbangan, bergulat dengan asap kendaraan, dan berlumuran air genangan. Ya itu emakku, sebagai tukang sapu di troar jalan.
“Di, walau kita bukan orang kaya, emak pingin kamu tetap sekolah”
Itu kata-kata emak, yang selalu diucapkannya setiap malam. Tak terkecuali malam ini. Emak sedang sakit, badannya lemah, mukanya pucat, dan menggigil lkedinginan.
Sedih dan kecewa jelas mewarnai hari-hariku. Apalagi ketika di akhir shalatnya emak selalu menitihkan air mata. Entah apa yang dipanjatkan dalam do’anya, hingga air mata it terus membasahi pipinya.
    Aku pikir Emak sebenarnya juga kecewa dengan keputusan yang ku ambil untuk berhenti sekolah. Tapi apa mau dikata, jikalau aku tetap lanjut sekolah biaya untuk emak berobat tak ada. Jadi ku pilih jalan untuk berhenti sekolah dan menggunakan uang yang ada untuk makan dan membelikan emak obat..
“assalamu’alaikum. Mohon maaf mengganggu perjalanan saudara-saudara semua. Sebuah lagu dari saya…jreng..jreng..”kataku mengawali dendangan lagu dalam bus kota.
Saat kubernyanyi memang kulantunkan dari hati. Bukannya somnbong sih, soalnya memang tidak ada yang disombongkan, tapi kata orang-orang suaraku itu merdu dan enak didengar. Jadi tak heran bila terkadang aku mendapat lebih banyak uang daripada yang lain.
Ya..itulah aku, yang hidup di jalanan untuk mendapatkan sesuap nasi. Tapi, aku tak pernah merampok, mencuri, apalagi mencoba barang haram narkoba. Bagiku tak selamanya susah dirasa, namun halal adalah jalannya.
“kita sambut Adiga Pamungkas” kata seseorang dengan lantang.
        Riuh tepuk tanggan menggemuruhkan sebuah kafe 17 ini. Bisa dibilang aku kini sudah beralih tempat dari musisi jalanan kini musisi sungguhan, walau masih amatiran sih. Aku kini bekerja dari kafe ke kafe, kadang juga panggung ke panggung.
 “mak, maafkan Diga ya,, selama ini selalu mengecewakan emak” kataku pelan sambil berurai air mata dan memeluk emak.
Entah bagaimana prosesnya, tapi kata emak sejatinya yang mengubah ini semua adalah kejujuran dan ketabahan.
          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar