Resensi oleh Amelia S. Wardani
“Bukan aku keluarga Pramuka, tapi Pramuka keluargaku!” Sepenggal
kalimat tersebut diucapkan dengan bangga oleh Rusdi, seorang bocah
sekolah dasar yang begitu optimis untuk menjadi pramuka sejati.
Sayangnya, Rusdi hanyalah tokoh fiksi semata.
Lantas, mungkinkah kalimat serupa juga diucapkan anak-anak pada realitasnya? Adakah kebanggaan anak-anak seperti halnya Rusdi saat mengenakan seragam coklat lengkap dengan atributnya? Mungkin kita akan menyangsikannya, mengingat pramuka sendiri justru menjadi momok yang kurang disenangi anak-anak. Ya, pramuka kini perlahan terlupakan – atau bahkan dilupakan- meskipun kebanyakan orang pasti pernah menjalaninya pada masanya. Alhasil optimisme terhadap pramuka nyaris luntur. Berkaca dari realita tersebut, akankah menjadi sekedar keberanian atau justru ide brilian ketika tema pramuka diangkat dalam sebuah film komersil? Tantangan inilah yang hendak dijawab film Lima Elang garapan Rudi Soedjarwo.
Lantas, mungkinkah kalimat serupa juga diucapkan anak-anak pada realitasnya? Adakah kebanggaan anak-anak seperti halnya Rusdi saat mengenakan seragam coklat lengkap dengan atributnya? Mungkin kita akan menyangsikannya, mengingat pramuka sendiri justru menjadi momok yang kurang disenangi anak-anak. Ya, pramuka kini perlahan terlupakan – atau bahkan dilupakan- meskipun kebanyakan orang pasti pernah menjalaninya pada masanya. Alhasil optimisme terhadap pramuka nyaris luntur. Berkaca dari realita tersebut, akankah menjadi sekedar keberanian atau justru ide brilian ketika tema pramuka diangkat dalam sebuah film komersil? Tantangan inilah yang hendak dijawab film Lima Elang garapan Rudi Soedjarwo.
Rusdi ‘si pramuka sejati’ hanyalah salah satu tokoh yang membangun film Lima Elang.
Sentral cerita sendiri dimulai dari Baron, seorang anak Jakarta yang
harus mengikuti kepindahan orangtuanya ke Balikpapan, Kalimantan Timur.
Kepindahan Baron ini diliputi rasa kekesalan karena ia terpaksa
berjauhan dari teman-teman sekaligus hobinya bermain RC (remote control).
Baron pun menutup diri hingga bersikap ketus terhadap teman-teman di
lingkungan barunya. Disinilah muncul peran Rusdi, ia menyarankan pihak
sekolah agar Baron diikutsertakan sebagai salah satu anggota regu dalam
perkemahan pramuka tingkat provinsi. Suatu hal yang jelas dibenci Baron.
Bagi Baron, liburan ke Jakarta bersama teman-teman sesama penghobi RC
tampak lebih menggiurkan.
Singkat cerita, Baron memutuskan
mengikuti perkemahan pramuka. Perubahan keputusan Baron ini dilandasi
motif untuk kabur ke pameran RC yang ternyata satu area dengan arena
perkemahannya. Seregu dengannya – selain Rusdi si pramuka sejati yang
selalu tersenyum- adalah Anton si ahli api yang setiakawan, Aldi si
kecil bermulut besar, dan belakangan Sindai seorang gadis perkasa yang
sering menyendiri. Mereka lalu tergabung dalam regu bernama ‘Elang’.
Elang merupakan spesies burung unik
karena memiliki kemampuan terbang jauh melebihi kemampuan burung
lainnya. Tak salah jika Baron, Rusdi, Anton, Aldi, dan Sindai dengan
keunikan karakter mereka lantas dijuluki ‘Lima Elang’. Anak-anak umumnya
datang ke arena perkemahan untuk mematuhi aturan dari kakak pembina,
berkompetisi secara sehat, dan memenangkan tiket mengikuti jambore
nasional. Sementara kelima anak tersebut justru membawa misi tersendiri
berlandaskan konflik yang mereka hadapi masing-masing.Baron yang masih
sulit menerima kenyataan tinggal di lingkungan baru, Rusdi yang ternyata
berobsesi sebagai pramuka sejati untuk membuktikan pada ayahnya yang
kabur dari rumah, serta Sindai yang meskipun perkasa ternyata tidak
dihargai oleh teman satu regunya hingga memilih bergabung dengan Rusdi
dan kawan-kawan. Sementara konflik khas anak-anak dialami oleh Anton,
yang ternyata memiliki kecenderungan mengekor pada Rusdi dan Aldi yang
bagai pungguk merindukan bulan pada Sandra, gadis dari regu yang
berbeda. Masing-masing menjalankan misi yang diyakininya sebagai bentuk problem solving atas
konflik yang mereka hadapi dengan sama-sama berlandaskan dilema antara
egoisme pribadi atau nilai persahabatan. Pada titik inilah pramuka
terkesan dijadikan kedok semata.
Meskipun demikian, kelima anak dengan
karakter yang berwarna-warni tersebut menjadi kekuatan tersendiri dalam
menghidupkan cerita. Mereka pun mengatasi konflik dengan tingkah pola
kocak khas anak-anak yang nampak begitu natural dan tak pretensius. Chemistry di antara mereka pun nyata terasa hingga kisah persahabatan yang ditampilkan terlihat begitu meyakinkan.
.
Ketegangan yang Tak Berlangsung Lama
Awalnya penonton mungkin akan
menebak-nebak klimaks cerita. Apakah persaingan dengan regu pramuka lain
akan semakin sengit? Atau Baron yang berbekal peta akan tersesat di
hutan ketika berusaha kabur? Tebakan salah, beberapa plot cerita
tersebut ternyata hanya ditampilkan sekilas untuk mewarnai jalan cerita
tanpa penggalian lebih lanjut
Mengingatkan pada Petualangan Sherina
(2000), ternyata adegan penculikan oleh penebang liar di hutan terhadap
Rusdi dan Anton, dan usaha penyelamatan oleh Baron, Aldi, dan Sindai
menjadi klimaksnya. Sayangnya, ketegangan saya ketika menonton adegan
ini tak berlangsung lama. Mungkin si penculik bersenjata itu terlampau
lemah hingga begitu mudah ditaklukan. Dapat dikatakan bahwa klimaks yang
ditampilkan terasa terburu-buru hingga kurang membekaskan kesan pada
penonton.
.
Film Keluarga
Terlepas dari semua itu, Rudi Soedjarwo yang pertama kali menyutradarai ‘film keluarga’ dapat dikatakan sukses membawa Lima Elang
sebagai film keluarga yang menghibur dan merangkul semua segmen. Dengan
tema pramuka yang dekat dengan kehidupan anak, film ini akan diterima
secara akrab oleh penonton usia muda. Bahkan Lima Elang menjadi
film yang sarat akan nilai edukasi yang paling dekat untuk anak-anak
dibanding film anak lainnya Sementara bagi penonton dewasa, tak lantas
tersingkirkan atau bahkan terjebak dalam cerita yang tak masuk akal.
Justru film ini mengajak mereka kilas balik ke masa kecil, sekaligus
mengenal karakter psikologis dan konflik yang seringkali menghinggapi
anak.
Film Lima Elang sendiri pada
akhirnya mampu mempromosikan pramuka secara efektif. Memang pramuka
sempat terkesan ditampilkan sebagai kedok semata. Namun, justru inilah
formula paling jitu untuk mengemasnya dalam sebuah film. Toh hasilnya
tercapai pencitraan positif atas pramuka. Tak dipungkiri jika optimisme
terhadap pramuka akan mampu dibangkitkan melalui film ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar