Senin, 10 Desember 2012

PANCASILA

PANCASILA SEBAGAI SUMBER NILAI DI ERA GLOBALISASI
Oleh : Melan Kusumandari

Bagi bangsa Indonesia, yang dijadikan sebagai sumber nilai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara adalah Pancasila. Ini berarti bahwa seluruh tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara menggunakan Pancasila sebagai dasar moral atau norma dan tolak ukur tentang baik buruk dan benar salahnya sikap, perbuatan, dan tingkah laku bangsa Indonesia (Budiyanto, 2007:33). Dengan adanya anggapan seperti itu maka dengan mudah Pancasila akan masuk ke dalam jiwa bangsa Indonesia.
Kini, zaman telah berganti menjadi era globalisasi. Teknologi, jarak, dan waktu bukan lagi menjadi sebuah persoalan sulit. Namun, seiring kemudahan yang ada, berbagai anggapan, kritikan, celaan, maupun hinaan sering kali mewarnai lika-liku Pancasila. Demokrasi yang menjadi sistem pemerintahan kini menjadi bomerang bagi Pancasila. Butir-butir makna yang terkandung dalam Pancasila mulai terabaikan dan terpendam dalam. Sedang Pancasila sendiri hanya sebagai hiasan dinding-dinding di instansi-instansi.
Dampak negatif dari era globalisasi bagi Pancasila merupakan permasalahan yang perlu dikaji agar tidak menjadi berbagai persoalan yang justru membelit keadaan Pancasila di Indonesia. Berbagai teori telah dikemukakan untuk mengatasi permasalahan ini. Namun, lingkungan yang seharusnya mendukung keberadaan Pancasila kini berubah menjadi monster yang mengabaikan Pancasila. Hal ini dikarenakan lingkungan masyarakat tidak sadar bahwa dirinya telah terombang-ambingkan dengan kenikmatan hidup di era globalisasi.
Dalam kajian ini, Pancasila sebagai Sumber Nilai di Era Globalisasi akan menjadi obyek permasalahan. Alasan dipilihnya judul tersebut karena Pancasila yang merupakan sumber nilai bagi bangsa Indonesia, kini mulai tertutup karena adanya era globalisasi. Pengkajian “Pancasila sebagai Sumber Nilai di Era Globalisasi” ini dibatasi pada macam, sistem, dan makna nilai Pancasila di Era Globalisasi. Penjabaran “Pancasila sebagai Sumber Nilai di Era Globalisasi” ini diharapkan dapat menambah wawasan pembaca dan dapat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pandangan filsafat, nilai sering dihubungkan dengan masalah kebaikan. Sesuatu dikatakan mempunyai nilai, apabila sesuatu berguna, benar (nilai kebenaran), indah (nilai estetika), baik (nilai moral), religious (nilai religi), dan sebagainya. Nilai itu ideal bersifat ide. Karena itu, nilai adalah sesuatu yang abstrak dan tidak dapat disentuh oleh panca indera. Yang dapat ditangkap adalah barang atau laku perbuatan yang mengandung nilai itu (Budiyanto, 2007:30).
 Macam nilai yang terkandung dalam suatu hal harus ditentukan dan diklasifikasikan. Nilai berhubungan erat dengan kebudayaan dan masyarakat. Setiap masyarakat atau setiap kebudayaan memiliki nilai yang tak terhingga jumlahnya. Beberapa ahli telah mengklasifikasikan macam nilai yang telah tumbuh di masyarakat, antara lain
1.  Alport
  Mengidentifikasikan bahwa nilai yang ada di masyarakat ada 6, yaitu nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai social, nilai politik, dan nilai religi.
2.  Sprange
  Menurutnya nilai dapat dibedakan menjadi 6, antara lain nilai ilmu pengetahuan, nilai ekonomi, nilai agama, nilai seni, nilai social, dan nilai politik.
3.  Sprange, Harold Laswell
  Mengidentifikasi bahwa nilai yang ada di masyarakat dan berhubungan dengan manusia ada 8, antara lain nilai kekuasaan, nilai pendidikan, nilai kekayaan, nilai kesehatan, nilai ketrampilan, nilai kasih saying, nilai kejujuran dan keadilan, nilai kesegaran dan respek.
4.  Notonegoro
  Membagi nilai menjadi 3 macam, yaitu
a.  Nilai material     : segala sesuatu yang berguna bagi manusia. Misalnya kebutuhan makan, sandang, pangan, dan papan.
b.  Nilai vital : segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas. Misalnya semangat, kemauan, kerja keras, dan lain-lain
c.   Nilai kerohanian: segala sesuatu yang berguna bagi jiwa/rohani manusia. Nilai kerohanian dibedakan menjadi : a) nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (rasio, budi, cipta manusia); b) Nilai keindahan (nilai estetis) yang bersumber pada perasaan; c) Nilai kebaikan/moral yang bersumber pada kehendak; d) Nilai religious yang merupakan nilai ke-Tuhanan, kerohanian yang tinggi dan mutlak.
Kesemua nilai di atas masih bersifat abstrak. Nilai yang bersifat abstrak, dapat disebut sebagai nilai dasar yang kemudian akan dijabarkan  menjadi nilai instrumental yang konkrit. Penjabaran nilai-nilai tersebut harus dituangkan dalam norma. Norma-norma yang berlaku di masyarakat antara lain norma agama, norma social, norma hokum, dan lain-lain. Dalam konteks hidup bernegara, Pancasila sebagai dasar negara dan asas kerohanian Negara merupakan nilai dasar yang nantinya dijabarkan menjadi nilai instrumental  berupa UUD’45.
Pancasila sebagai nilai mengandung serangkaian sistem nilai. Sistem sendiri adalah serangkaian komponen nilai yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain. Sistem nilai adalah gagasan menyeluruh mengenai tata cara tentang  apa yang dianggap baik dalam suatu masyarakat. Dalam pancasila sistem nilai yang terkandung adalah ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
Sistem nilai yang ada pada Pancasila dapat pula dikaji lebih dalam mengenain makna yang terkadung dan mensingkronkannya dengan era globalisasi ini.
1.  Ketuhanan Yang Maha Esa
Dalam sila pertama dapat dijelaskan tentang hubungan manusia dengan tuhannya. Jadi, hubungan sakral ini menjadikan manusia berbuat baik karena merasa ada yang mengawasi setiap gerak-geriknya. Indonesia sebagai negara pemilik Pancasila menjamin warganya untuk memeluk agama dan beribadah sesuai kepercayaan masing-masing. Hal ini dijamin oleh UUD ’45 pasal 29. Di Indonesia sendiri terdapat lima agama yang diakui yaitu Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan Hindu.
Di era globalisasi ini, prinsip-prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa” tidak lagi menjadikan manusia takut akan Tuhannya. Kebanyakan, mereka mengaggap bahwa agama hanya sebagai status saja, bukan lagi sebagai hubungan antara manusia dengan Tuhan.
2.  Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Prinsip-prinsip kemanusiaan yang tertuang dalam sila kedua ini, menjabarkan kesadaran manusia akan hati nurani, cinta dan kasih saying, dan persamaanharkat martabat. Dalam UUD ’45 dijelmakan dalam pasal 26,27,28 A-J, 30, dan 31. Selain itu, regulasi dalam bentuk perundang-undangan sudah banyak di hasilkan.
Namun, apabila kita kaji di masa sekarang, sila ke dua ini, telah terselimuti kain tebal yang menjadikan rasa kemanusiaan ini hilang. Sering kali di Indonesia terjadi pembunuhan keluarga sendiri, tidak bisa menghargai pendapat orang lain, manipulasi hokum, dan lain-lain.
3.  Persatuan Indonesia
Sila ke tiga “Persatuan Indonesia” merupakan manifestasi paham kebangsaan yang memberi  tempat bagi keragaman. Keragaman di sini dapat diartikan sebagai keragaman budaya, etnis, suku, golongan, ras, agama, dan lain-lain. Keragaman yang ada justru harus menjadi alat pemersatu bangsa, sebagaimana tertuang dalam semboyan Garuda Pancasila “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya walaupun berbeda-beda, namun tetap satu jua. Sila ketiga ini juga dijelmakan dalam UUD ’45 pasal 32, 35, dan 36 A-C.
     Persatuan merupakan suatu hal yang indah untuk dilakukan. Persatuan di Negara yang berpenduduk padat dan memiliki beraneka ragaman budaya memang bukanlah sebuah hal yang mudah. Namun, persatuan Indonesia mulai kembali terwujud dengan huforia sepak bola Indonesia. Persatuan yang terbentuk karena olah raga ini, seharus dapat bertahan lama manakala tidak terjadi kisruh pada kubu yang menaungi (PSSI). Terkadang di negeri ini, bila kaum bawah telah bersatu, maka kaum atas bertikai, demikian pula sebaliknya. Jadi, seakan-akan terjadi hubungan kutub magnet utara dan selatan.
4.  Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
Paham yang diusung dalam sila keempat ini adlah paham kedaulatan rakyat yang bersumber pada nilai kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan.  Contoh penerapan dari sila keempat adalah musyawarah untuk mencapai mufakat, mendahlukan kepentingan Negara dan masyarakat, serta menegakkan nilai kebenaran dan keadilan dalam kehidupan yang bebas, aman, dan sejahtera. Dalam hal ini, Negara juga telah berupaya untuk menjamin rakyatnya sebagaimana tertuang dalam pasal 1(ayat 2), 2, 3, 4, 5, 6, 7, 11, 16, 18, 19, 20, 21, 22 A-B, dan 37.
Bila di kaji dengan keadaan yang ada sekarang, maka sila keempat ini seakan-akan paling terjadi penyelewengan. Gotong royong misalnya, gotong royong seharusnya dilakukan untuk mempermudah pekerjaan yang sulit. Namun, kini gotong royong justru dijadikan sebagai alasan untuk mempermudah pekerjaan yang tidak baik, missal mensontek, korupsi, dan lain-lain. Contoh konkret penyelewengan yang terjadi di sila keempat di era globalisasi ini adalah pemerintah yang seharusnya menyampaikan aspirasi rakyat justru menyampaiakn aspirasi yang menjadikan dirinya atau golongannya berada di pihak yang diuntungkan. Penyelewengan-penyelewengan ini tentunya didukung dengan pemanfaatan teknologi yang memuluskan kerja yang tidak baik itu seolah olah menjadi baik.
5.  Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Dalam makna sila ke lima Pancasila ini, mencangkup tentang keselarasan dan keseimbangan antaraperlakuan orang yang satu dengan yang lain. Artinya Pancasila menjadikan manusia itu sama dalam hal mendapat hak dan kewajiban. Sila ke lima ini juga menjelaskan bahwasanya tidak ada pengecualian seseorang dalam mendapatkan hak dan kewajiban di mata hokum dan ketatanegaraan.
Akan tetapi, keadilan yang ada di Indonesia sering kali ternodai dengan tangan-tangan yang menggenggam amplop sebagai sarana meluruskan jalan yang salah dan menjadikannya benar. Berbagai contoh kasus keadilan yang tidak lagi seimbang dan selaras terhadap rakyat telah membanjiri acara-acara berita di televisi. Beberapa contohnya adalah kasus Gayus dan Nazaruddin yang antara hukuman dan perbuatan tidak sejalan. Sementara kasus pencuri Kakao harus mendekam di balik jeruji besi dan menjalani beberapa kali sidang tanpa pihak pengancara dan pembela.
Berdasarkan pengkajian tentang “Pancasila sebagai Sumber Nilai  di Era Global” dapat disimpulkan bahwa dalam era global yang berciri dunia tanpa batas ini, menjadikan Pancasila sebagai sumber nilai bagi bangsa Indonesia perlahan-lahan tersingkirkan. Hal ini terjadi karena masyarakat kita kurang sadar akan bahaya yang terjadi bilamana mengikuti trend tanpa memilah hal-hal yang dianggap perlu dan tidak perlu. Pengkajian ulang terhadap nilai-nilai Pancasila kepada masyarakat dirasa perlu agar dalam menghadapi persaingan Global, Indonesia tetap berciri khas dan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.
Hasil pengkajian  “Pancasila sebagai Sumber Nilai  di Era Global”  ini diharapkan dapat membuka wawasan dan menggugah semangat pembaca, khususnya generasi muda agar terbangun dari kenyamanan globalisasi dan kembali menggunakan Pancasila sebagai sumber nilai dalam memilah-milah options yang ditawarkan era globalisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar