PANCASILA SEBAGAI
SUMBER NILAI DI ERA GLOBALISASI
Oleh : Melan Kusumandari
Bagi
bangsa Indonesia, yang dijadikan sebagai sumber nilai dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara adalah Pancasila. Ini berarti bahwa
seluruh tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara menggunakan Pancasila
sebagai dasar moral atau norma dan tolak ukur tentang baik buruk dan benar
salahnya sikap, perbuatan, dan tingkah laku bangsa Indonesia (Budiyanto,
2007:33). Dengan adanya anggapan seperti itu maka dengan mudah Pancasila akan
masuk ke dalam jiwa bangsa Indonesia.
Kini,
zaman telah berganti menjadi era globalisasi. Teknologi, jarak, dan waktu bukan
lagi menjadi sebuah persoalan sulit. Namun, seiring kemudahan yang ada, berbagai
anggapan, kritikan, celaan, maupun hinaan sering kali mewarnai lika-liku
Pancasila. Demokrasi yang menjadi sistem pemerintahan kini menjadi bomerang bagi
Pancasila. Butir-butir makna yang terkandung dalam Pancasila mulai terabaikan
dan terpendam dalam. Sedang Pancasila sendiri hanya sebagai hiasan
dinding-dinding di instansi-instansi.
Dampak
negatif dari era globalisasi bagi Pancasila merupakan permasalahan yang perlu
dikaji agar tidak menjadi berbagai persoalan yang justru membelit keadaan
Pancasila di Indonesia. Berbagai teori telah dikemukakan untuk mengatasi
permasalahan ini. Namun, lingkungan yang seharusnya mendukung keberadaan
Pancasila kini berubah menjadi monster yang mengabaikan Pancasila. Hal ini
dikarenakan lingkungan masyarakat tidak sadar bahwa dirinya telah
terombang-ambingkan dengan kenikmatan hidup di era globalisasi.
Dalam
kajian ini, Pancasila sebagai Sumber Nilai di Era Globalisasi akan menjadi
obyek permasalahan. Alasan dipilihnya judul tersebut karena Pancasila yang
merupakan sumber nilai bagi bangsa Indonesia, kini mulai tertutup karena adanya
era globalisasi. Pengkajian “Pancasila sebagai Sumber Nilai di Era Globalisasi”
ini dibatasi pada macam, sistem, dan makna nilai Pancasila di Era Globalisasi. Penjabaran
“Pancasila sebagai Sumber Nilai di Era Globalisasi” ini diharapkan dapat
menambah wawasan pembaca dan dapat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam
pandangan filsafat, nilai sering dihubungkan dengan masalah kebaikan. Sesuatu
dikatakan mempunyai nilai, apabila sesuatu berguna, benar (nilai kebenaran),
indah (nilai estetika), baik (nilai moral), religious (nilai religi), dan
sebagainya. Nilai itu ideal bersifat ide. Karena itu, nilai adalah sesuatu yang
abstrak dan tidak dapat disentuh oleh panca indera. Yang dapat ditangkap adalah
barang atau laku perbuatan yang mengandung nilai itu (Budiyanto, 2007:30).
Macam nilai yang terkandung dalam suatu hal harus
ditentukan dan diklasifikasikan. Nilai berhubungan erat dengan kebudayaan dan masyarakat.
Setiap masyarakat atau setiap kebudayaan memiliki nilai yang tak terhingga
jumlahnya. Beberapa ahli telah mengklasifikasikan macam nilai yang telah tumbuh
di masyarakat, antara lain
1. Alport
Mengidentifikasikan bahwa nilai yang ada di masyarakat ada 6, yaitu
nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai social, nilai politik, dan
nilai religi.
2. Sprange
Menurutnya nilai dapat dibedakan menjadi 6, antara lain nilai ilmu
pengetahuan, nilai ekonomi, nilai agama, nilai seni, nilai social, dan nilai
politik.
3. Sprange,
Harold Laswell
Mengidentifikasi bahwa nilai yang ada di masyarakat dan berhubungan
dengan manusia ada 8, antara lain nilai kekuasaan, nilai pendidikan, nilai
kekayaan, nilai kesehatan, nilai ketrampilan, nilai kasih saying, nilai kejujuran
dan keadilan, nilai kesegaran dan respek.
4. Notonegoro
Membagi nilai menjadi 3 macam, yaitu
a. Nilai
material : segala sesuatu yang berguna
bagi manusia. Misalnya kebutuhan makan, sandang, pangan, dan papan.
b. Nilai
vital : segala sesuatu yang berguna bagi manusia
untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas. Misalnya semangat, kemauan, kerja
keras, dan lain-lain
c. Nilai
kerohanian: segala sesuatu yang berguna bagi jiwa/rohani manusia. Nilai
kerohanian dibedakan menjadi : a) nilai kebenaran, yang bersumber pada akal
(rasio, budi, cipta manusia); b) Nilai keindahan (nilai estetis) yang bersumber
pada perasaan; c) Nilai kebaikan/moral yang bersumber pada kehendak; d) Nilai
religious yang merupakan nilai ke-Tuhanan, kerohanian yang tinggi dan mutlak.
Kesemua
nilai di atas masih bersifat abstrak. Nilai yang bersifat abstrak, dapat
disebut sebagai nilai dasar yang kemudian akan dijabarkan menjadi nilai instrumental yang konkrit.
Penjabaran nilai-nilai tersebut harus dituangkan dalam norma. Norma-norma yang
berlaku di masyarakat antara lain norma agama, norma social, norma hokum, dan
lain-lain. Dalam konteks hidup bernegara, Pancasila sebagai dasar negara dan
asas kerohanian Negara merupakan nilai dasar yang nantinya dijabarkan menjadi
nilai instrumental berupa UUD’45.
Pancasila
sebagai nilai mengandung serangkaian sistem nilai. Sistem sendiri adalah serangkaian
komponen nilai yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain. Sistem
nilai adalah gagasan menyeluruh mengenai tata cara tentang apa yang dianggap baik dalam suatu
masyarakat. Dalam pancasila sistem nilai yang terkandung adalah ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
Sistem
nilai yang ada pada Pancasila dapat pula dikaji lebih dalam mengenain makna
yang terkadung dan mensingkronkannya dengan era globalisasi ini.
1. Ketuhanan
Yang Maha Esa
Dalam sila pertama dapat dijelaskan tentang hubungan
manusia dengan tuhannya. Jadi, hubungan sakral ini menjadikan manusia berbuat
baik karena merasa ada yang mengawasi setiap gerak-geriknya. Indonesia sebagai
negara pemilik Pancasila menjamin warganya untuk memeluk agama dan beribadah
sesuai kepercayaan masing-masing. Hal ini dijamin oleh UUD ’45 pasal 29. Di
Indonesia sendiri terdapat lima agama yang diakui yaitu Islam, Kristen,
Katolik, Budha, dan Hindu.
Di era globalisasi ini, prinsip-prinsip “Ketuhanan Yang
Maha Esa” tidak lagi menjadikan manusia takut akan Tuhannya. Kebanyakan, mereka
mengaggap bahwa agama hanya sebagai status saja, bukan lagi sebagai hubungan
antara manusia dengan Tuhan.
2. Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab
Prinsip-prinsip
kemanusiaan yang tertuang dalam sila kedua ini, menjabarkan kesadaran manusia
akan hati nurani, cinta dan kasih saying, dan persamaanharkat martabat. Dalam
UUD ’45 dijelmakan dalam pasal 26,27,28 A-J, 30, dan 31. Selain itu, regulasi
dalam bentuk perundang-undangan sudah banyak di hasilkan.
Namun,
apabila kita kaji di masa sekarang, sila ke dua ini, telah terselimuti kain
tebal yang menjadikan rasa kemanusiaan ini hilang. Sering kali di Indonesia
terjadi pembunuhan keluarga sendiri, tidak bisa menghargai pendapat orang lain,
manipulasi hokum, dan lain-lain.
3. Persatuan
Indonesia
Sila
ke tiga “Persatuan Indonesia” merupakan manifestasi paham kebangsaan yang
memberi tempat bagi keragaman. Keragaman
di sini dapat diartikan sebagai keragaman budaya, etnis, suku, golongan, ras,
agama, dan lain-lain. Keragaman yang ada justru harus menjadi alat pemersatu
bangsa, sebagaimana tertuang dalam semboyan Garuda Pancasila “Bhineka Tunggal
Ika” yang artinya walaupun berbeda-beda, namun tetap satu jua. Sila ketiga ini
juga dijelmakan dalam UUD ’45 pasal 32, 35, dan 36 A-C.
Persatuan
merupakan suatu hal yang indah untuk dilakukan. Persatuan di Negara yang
berpenduduk padat dan memiliki beraneka ragaman budaya memang bukanlah sebuah
hal yang mudah. Namun, persatuan Indonesia mulai kembali terwujud dengan huforia
sepak bola Indonesia. Persatuan yang terbentuk karena olah raga ini, seharus
dapat bertahan lama manakala tidak terjadi kisruh pada kubu yang menaungi
(PSSI). Terkadang di negeri ini, bila kaum bawah telah bersatu, maka kaum atas
bertikai, demikian pula sebaliknya. Jadi, seakan-akan terjadi hubungan kutub
magnet utara dan selatan.
4. Kerakyatan
yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
Paham
yang diusung dalam sila keempat ini adlah paham kedaulatan rakyat yang
bersumber pada nilai kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan. Contoh penerapan dari sila keempat adalah
musyawarah untuk mencapai mufakat, mendahlukan kepentingan Negara dan
masyarakat, serta menegakkan nilai kebenaran dan keadilan dalam kehidupan yang
bebas, aman, dan sejahtera. Dalam hal ini, Negara juga telah berupaya untuk
menjamin rakyatnya sebagaimana tertuang dalam pasal 1(ayat 2), 2, 3, 4, 5, 6, 7,
11, 16, 18, 19, 20, 21, 22 A-B, dan 37.
Bila di kaji dengan keadaan
yang ada sekarang, maka sila keempat ini seakan-akan paling terjadi
penyelewengan. Gotong royong misalnya, gotong royong seharusnya dilakukan untuk
mempermudah pekerjaan yang sulit. Namun, kini gotong royong justru dijadikan
sebagai alasan untuk mempermudah pekerjaan yang tidak baik, missal mensontek,
korupsi, dan lain-lain. Contoh konkret penyelewengan yang terjadi di sila
keempat di era globalisasi ini adalah pemerintah yang seharusnya menyampaikan
aspirasi rakyat justru menyampaiakn aspirasi yang menjadikan dirinya atau
golongannya berada di pihak yang diuntungkan. Penyelewengan-penyelewengan ini
tentunya didukung dengan pemanfaatan teknologi yang memuluskan kerja yang tidak
baik itu seolah olah menjadi baik.
5. Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Dalam
makna sila ke lima Pancasila ini, mencangkup tentang keselarasan dan
keseimbangan antaraperlakuan orang yang satu dengan yang lain. Artinya
Pancasila menjadikan manusia itu sama dalam hal mendapat hak dan kewajiban. Sila
ke lima ini juga menjelaskan bahwasanya tidak ada pengecualian seseorang dalam
mendapatkan hak dan kewajiban di mata hokum dan ketatanegaraan.
Akan
tetapi, keadilan yang ada di Indonesia sering kali ternodai dengan
tangan-tangan yang menggenggam amplop sebagai sarana meluruskan jalan yang
salah dan menjadikannya benar. Berbagai contoh kasus keadilan yang tidak lagi
seimbang dan selaras terhadap rakyat telah membanjiri acara-acara berita di
televisi. Beberapa contohnya adalah kasus Gayus dan Nazaruddin yang antara
hukuman dan perbuatan tidak sejalan. Sementara kasus pencuri Kakao harus
mendekam di balik jeruji besi dan menjalani beberapa kali sidang tanpa pihak
pengancara dan pembela.
Berdasarkan
pengkajian tentang “Pancasila sebagai Sumber Nilai di Era Global” dapat disimpulkan bahwa dalam
era global yang berciri dunia tanpa batas ini, menjadikan Pancasila sebagai
sumber nilai bagi bangsa Indonesia perlahan-lahan tersingkirkan. Hal ini
terjadi karena masyarakat kita kurang sadar akan bahaya yang terjadi bilamana
mengikuti trend tanpa memilah hal-hal
yang dianggap perlu dan tidak perlu. Pengkajian ulang terhadap nilai-nilai
Pancasila kepada masyarakat dirasa perlu agar dalam menghadapi persaingan
Global, Indonesia tetap berciri khas dan menjunjung tinggi nilai-nilai
Pancasila.
Hasil
pengkajian “Pancasila sebagai Sumber Nilai di Era Global” ini diharapkan dapat membuka wawasan dan
menggugah semangat pembaca, khususnya generasi muda agar terbangun dari
kenyamanan globalisasi dan kembali menggunakan Pancasila sebagai sumber nilai
dalam memilah-milah options yang
ditawarkan era globalisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar